Siantan, Pontianak
20 Juli 2004
Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di sekujur tubuhnya.
Komplikasi penyakit jantung, darah tinggi, dan paru-paru menggerogoti
bobotnya yang dulu subur berisi. Dari balik selimut terlihat jelas
tulang-belulangnya tersembul. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak
mencari aliran udara, menghirup, dan mengeluarkan napas dengan
tersengal-sengal. Ia tampak tersiksa sekali.
Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk. Bukan saja
karena takut, tapi juga karena enggan. Enggan melihat kondisi
sakitnya, enggan bertegur sapa dengan orang-orang yang mungkin ada di
dalam ruangan itu, dan enggan berdamai dengan perasaan sakit hati yang
selama belasan tahun terpupuk hebat dalam hatiku. Tak mudah menghapus
luka lama.
Siang ini aku baru saja sampai di Jakarta, setelah tiga hari mengikuti
pameran di Bali. Taksi yang kutumpangi dari bandara sudah berhenti di
depan rumah. Ponselku tiba-tiba berbunyi. "Pulanglah, Mei Cen.
Waktunya sudah tiba," suara yang sudah sangat kukenal langsung
menyergap pendengaranku.
Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak sabar, hendak
menagih ongkos. "Jangan keraskan hati lagi, sudah saatnya mengakhiri
semua kebencian. Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup!"
suara itu kembali terdengar, kali ini nadanya menyakitkan.
Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama didengungkan terus oleh
sang penelepon. Aku sudah katakan padanya, tak perlu repot-repot
membujuk lagi. Aku tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi
keinginannya. Titik.
Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya aku sibuk
mengamati pernak-pernik kegiatan pameran, aku malah sering
terbengong-bengong. Seperti mantra, isi pesan telepon itu berbalik
menghantui, membuat setiap detik hidupku menjadi seperti bara api.
Batinku bergolak hebat. Antara rasa sayang dan dendam. Antara rasa iba
dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah merasa sangat letih menanggung
beban ini. Mungkin, Tuhan memang khusus merencanakan saat ini untuk
mempertemukan kami berdua. Saat kami harus bicara tentang kepahitan
masa lalu.
Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku menghitung dalam
hati. Sudah berapa lama kenangan buruk itu menyiksaku? Lebih dari lima
belas tahun. Sama sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam
lubuk hati, aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Mulai belajar
memaafkan lagi, belajar menyayangi lagi, belajar melupakan segala
sesuatu yang telah terjadi, belajar untuk memiliki hati dan jiwa yang
baru. Ya, aku harus segera memulainya. Sekarang. Dengan mantap, aku
meminta sopir taksi memutar kembali mobilnya dan mengantarku ke bandara.
Karena ada kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam barulah pesawat
mendarat di Pontianak. Untuk sampai di rumah sakit tempat Mama
dirawat, aku masih harus meneruskan perjalanan sekitar empat puluh
menit lagi menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil yang pengap karena
asap rokok dan keringat lima orang lainnya, aku kembali mempertanyakan
niat hatiku. Bagaimana jika Mama menolak bertemu denganku? Bagaimana
jika ternyata seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu mengusirku?
Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku akan remuk dua kali,
tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan, sudah benarkah keputusanku kali ini?
Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah mondar-mandir tak
keruan. Ternyata, bukan hal mudah untuk masuk ke dalamnya, lalu
menyapa, "Apa kabar, Mama? Aku sudah datang!" Untuk menenangkan
jantungku yang rasanya berdebar tiga kali lebih cepat, aku segera
menyingkir ke ujung lorong yang redup. Dengan gelisah aku bersandar di
tembok, sambil berulang kali mengetukkan hak sepatu di lantai yang kusam.
Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu teganya aku
membiarkan dia terkapar sendirian di dalam sana, sekarat menghadapi
ajal. Padahal, aku sudah mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu,
tapi tak pernah sekali pun aku berniat menjenguknya, apalagi
mendampingi di saat-saat terakhirnya.
Tapi, hei… tunggu dulu! Jahat? Aku jahat? Bukankah wanita itu jauh
lebih jahat? Lihat saja apa yang selama ini dia lakukan padaku! Dia
bukan saja tidak mengasihiku, tapi juga ingin melenyapkanku dengan
segala macam cara. Dia ingin membunuhku! Aku, darah dagingnya sendiri!
Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir, yang terhebat,
dan yang paling tak bisa kulupakan. Setiap suku katanya bahkan masih
aku hafal dengan jelas.
"Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Mengertilah
sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat masalah?
Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan Mama? Enak saja kamu bicara,
sepertinya paling pintar sedunia! Semua yang kalian pakai dan makan
itu hasil jerih payah Mama, tapi kamu sama sekali tidak tahu terima
kasih. Tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar
anak pembawa sial!"
Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa
sial, itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di
rumah ini.
"Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai sekarang, tanggungan
Mama berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai
untuk membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah,
tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi! Akan kubuktikan, aku bisa
hidup tanpa kalian!" jeritku membabi buta, lalu menerjang kamar, dan
mengemas barang-barangku.
"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari
rumah ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar
anak sinting! Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing, sudah besar
tambah bikin masalah! Anak kurang ajar, anak durhaka! Makin cepat kamu
keluar dari rumah ini, makin baik!" teriak Mama, melengking tinggi.
Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi ranjang. Malang
benar nasibku. Lahir tak dikehendaki, hidup pun tak punya arti.
Berjam-jam lamanya aku menangisi diri, sambil memasukkan
barang-barangku yang tak seberapa banyak. Aku tak tahu akan ke mana.
Tapi, keinginanku saat itu hanya satu. Pergi jauh dan tidak kembali lagi.
Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata. Kejadian yang
lalu itu menyisakan dendam dan kebencian luar biasa di antara aku dan
Mama. Aku bertekad, tak ingin lagi menggoreskan namanya dalam hidupku.
Begitu juga sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng pembenaran diri
sendiri.Aku berjuang luar biasa keras demi memenuhi sesumbar sumpahku,
tanpa pernah berpikir untuk kembali ke kota ini lagi.
Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat. Sampai
akhirnya, sekarang aku ada di sini. Duduk menatap langit, tak tahu
harus berbuat apa. Bulan di ujung rimbunan pohon rupanya sedang malas
menyembulkan sinarnya, membuat kulit tanganku makin pucat dan gemetar.
Air mataku menetes lagi.
September 1968
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan ini tak sama
dengan yang kemarin. Tidak ada mainan bola yang digantung di atas
kepala. Tidak ada gambar ikan berenang dilukis di tembok. Tidak ada
balon warna-warni melambai di dekat jendela. Sambil menggeliat
melemaskan otot yang masih agak kaku, aku menelengkan kepala. Kenapa
sepi sekali? Mana teman-temanku? Bukankah semestinya mereka juga ada
di sini, berbaring berjajar dalam boks yang bersekat-sekat? Biasanya
teriakan mereka membuat aku marah. Berisik sekali. Walaupun agak
menyebalkan, aku sayang pada mereka.
Ingat soal minum, perutku lapar bukan main. Biasanya, wanita berbaju
dan bertopi putih selalu datang untuk memandikan dan mendandaniku
dengan bedak wangi. Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil
menyorongkan botol susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku mulai
menggesek-gesekkan kaki, terasa lengket. Kenapa, sih, tidak ada yang
mengganti popokku? Basah dan dingin menempel di kulit, belum lagi
ditambah tiupan angin dari jendela kayu yang terbuka. Coba tunggu
sebentar lagi, siapa tahu wanita berbaju dan bertopi putih akan muncul
dan menyapaku seperti biasa, "Halo manis, sudah bangun?" Tapi, setelah
lama menunggu, pintu itu tetap tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar lagi!
Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku spontan berteriak
kaget. Seseorang berjalan masuk. Siapa wanita ini? Kenapa dia tidak
berbaju dan bertopi putih? Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku
mencoba mengingat. Wah, mukanya tidak ramah. Aku pikir dia akan segera
menggendong dan memberiku minum, tapi …. Hei, dia kembali berjalan ke
arah pintu, membuka, dan menutupnya lagi, seolah tidak peduli pada
tangisanku.
Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan kedinginan seperti ini?
Huh, lebih enak tinggal di perut Ibu. Mau makan, tinggal isap. Makanan
akan langsung sampai di depan mulut. Mau berhangat-hangat, tinggal
bergelung di selimut cairan ketuban. Semua serba enak, tidak perlu
capai-capai menangis jika ingin sesuatu.
Ups! Tunggu dulu! Ibu? Apakah wanita yang tadi datang itu ibuku? Bisa
jadi. Berarti, aku sudah ada di rumah dan ini kamarku? Asyik juga,
paling tidak aku tidak perlu repot berdesak-desakan tempat dengan
teman-teman lain seperti kemarin. Tidak perlu berebut minum, mainan,
dan berebut minta perhatian. Aku sendirian. Hore! Aku jadi raja! Enak
juga, ya, punya ibu. Tapi, mana dia? Oh, itu dia datang lagi. Tapi,
kenapa, sih, dia selalu membuka dan menutup pintu de-ngan suara
sekeras itu? Telingaku jadi sakit. Aku menangis lagi.
Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan menyekaku
dengan kasar. Rupanya, dia marah padaku karena buang air besar. Lalu
bagaimana lagi? Umurku kan baru 5 hari? Aku belum bisa membersihkan
kotoranku sendiri. Minumnya mana, Bu? Yah, kok, susunya dingin…. Tapi,
biarlah, daripada tidak sama sekali. Karena kelaparan dan hanya
disuguhi sedikit, aku melengkingkan suara, tanda minta tambah. Walau
dengan muka galak dan mulutnya mengomel, dia memberiku sedikit susu lagi.
Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan menyeka dengan air
hangat. Aku asyik memerhatikan wajahnya. Rasanya, wanita berbaju dan
bertopi putih yang selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga
harum. Sedangkan wanita di depanku bertubuh agak gemuk dan memiliki
raut wajah keras. Pakaiannya mirip seperti gorden. Tapi, tak apa, dia
adalah ibuku. Hmm... enaknya aku panggil apa, ya? Ibu, Mama, Mami,
atau Bunda? Lebih enak Mama. Mudah mengucapkannya.
Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau masih kedinginan.
Bajuku bertangan pendek, tanpa dibalut kain bedong, tanpa kaus kaki.
Bawa aku berjemur di luar, Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk
disapa pagi ini. Atau, kalau tidak, dekaplah aku sebentar di dada
Mama, karena aku ingin kehangatan.
Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan senyum termanisku,
berharap ia akan tertawa dan menggelitiki pipiku. Tapi, Mama malah
membenahi ember dan baju kotor, lalu kembali menghilang dari balik
pintu. Sia-sia aku menunggunya terus pagi ini, berharap ia mau bermain
denganku sejenak. Sepanjang sisa hari itu Mama hanya menjengukku tiga
kali. Datang melongok untuk mengganti popok dan menyodorkan botol susu
yang isinya tak banyak.
Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia hanya mengayunku
sebentar, tidak memberi pelukan selamat tidur atau ciuman. Aku
menangis sedih karena ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan
tubuh, memunggungiku. Aku mulai protes dan meronta, tapi yang kudapat
adalah cubitan kecil di kaki. Sakitnya…. Lagi-lagi aku menjerit. Makin
melengking suaraku, makin dalam Mama menekuk tubuhnya.
Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari dengan terlalu
banyak tangisan, akhirnya aku tertidur dengan mengulum jempol
tanganku. Ini hari pertamaku datang ke rumah, bertemu sosok Mama yang
sudah sembilan bulan mengisi bagian hidupku, tapi aku sudah merasa
tertolak.
Januari 1972
Seluruh kejadian itu berulang terus hingga aku menginjak tiga tahun.
Walau setiap malam aku tidur dengan Mama, aku hampir tak pernah
mendapat pelukan dan ciuman sayang. Paling-paling hanya usapan di
kepala. Kata-kata manis, nyanyian kecil, atau dongeng pengantar tidur
juga tak aku dapatkan.
Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya pendek-pendek dan nadanya
datar, kadang-kadang agak membentak. Padahal, aku ingin tahu rasanya
bermanja-manja, apalagi jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh
tak enak, tidur tak nyenyak, makan pun tak suka. Kalau saja Mama mau
sedikit memanjakan aku dengan pelukan, aku sudah cukup terhibur.
Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja Mama bersikap pelit,
soal keperluanku yang lain juga begitu. Makan dijatah, minum susu
dibatasi. Kalau masih lapar, minum saja air putih banyak-banyak,
begitu kata Mama.
"Di rumah ini bukan cuma kamu yang butuh makan, Mei Cen. Masih ada
enam kakak, dua kakak ipar, Tante Lin, Oma, dan Mama. Kita harus
saling berbagi, jelas?" tegur Mama galak, ketika suatu kali aku
merengek minta porsi daging gorengku ditambah.
Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari, sekerat kecil daging
dan separuh bagian telur satu kali seminggu, sementara sisanya adalah
sayur-mayur saja. Mula-mula, tentu saja aku menolak aturan itu dengan
tangisan merajuk dan mulai menga-muk. Tapi, setelah merasakan panasnya
sabetan tangan Mama di pantatku, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dan
bisa belajar menahan lapar lebih lama.
Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu cuci muka saja
sepanjang minggu. Irit air, irit sabun. Kalau kutanya mengapa, jawab
Mama singkat saja, "Karena kita bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah
sedikit." Tentu saja aku belum bisa mengerti apa arti perkataan itu,
seperti juga ketidakmengertianku tentang kondisi tangan dan kakiku.