Kamis, 20 Desember 2012

Nama Julukan




Gue mau sedikit cerita nama panggilan unik di antara gue dan 4 sahabat gue. Oke gue cerita sesuai abjad , langsung aja >>

1. Amelia P
Dia orangnya cukup kocak,lawak,malu-maluin dll. Orang yang gaje tapi bisa bikin gue dan yang lainnya ketawa ngakak. Oh ya,dia juga punya julukan nama panggilan ‘ KOMENG ‘ sebenernya gak terlalu jelas juga kenapa bisa dipanggil komeng awalnya. Dan ternyata kelakuannya emang mirip si KOMENG. Selain pinter bikin suasana dia juga lumayan di dunia pelajaran. Dia ini cukup deket sama feren (eye) < bukan mata ya._.. kaya suami istri gak jadi(?).
2. Afifatul P
Pipatul ini orangnya apa ya,,, hm asik juga. Punya suara tawa yang langka’-‘. Humoris juga. Dia orangnya bijak. Sekali dia ngomong,dia gak akan tarik omongannya apalagi kalo yang dia omongin itu bener. Orang yang gampang ketawa. Sekali ketawa jangan coba-coba buat deket di depannya karena gue yakin bakal ada hujan yang banjir di wajah lo *canda* kkkk,gak kok itu bohong :D. Kalo udah marah,gue dan yang lainnya langsung hening. Dunia pelajaran? Jangan ditanya. Dia bisa,dan mayan pinter. Kadang kalo lagi baik dia juga ngalah sama kita-kita kkkk. Dia punya julukan ‘ MANTUL ‘ karena waktu kelas 7,dia sempet jatoh dan kemudian membal._. dia ini duo nya egy (dajal).
3. Egydia S
Ini orang kalo ketawa rada-rada. Kalo ngomong juga kaya ujan,kadang suka muncrat wkwk. Pinter bahasa inggris. Kalo nyanyi lagu apalagi inggris,ini dia orangnya. Ngerapp yang berbahasa inggris pun bisa. Bahasa inggrisnya lancer bener._. kadang suka envy sama nih orang kkk. Emang udah di takdirin mungkin. Dia punya julukan ‘ DAJAL ‘ kenapa dajal? Karena dia punya tai lalat di wajahnya,sedangkan dajal itukan mata tapi ini gak dan malah tai lalat. Meskipun begitu dia lumayan enak dipandang lah.
4. Feren K
Si feren ini orangnya polos,saking polosnya kelakuannya kadang buat malu (malu-maluin) tapi itu kocak menurut gue dan yang lainnya. Dia kalo ngomong asal jeplak aja. Kaga di pikirin dulu kkk. Kadang suka bikin gue geregetan sama nih orang. Paling lama kalo buat siap-siap saat mau pergi bareng. Kadang gue suka lumutan nunggu nih orang. Dia ini orangnya mayan manis lah menurut gue,saking manisnya gue harus nyiapin seribu kantong plastic(?). dia punya julukan ‘ EYE ‘ gue gak begitu tau kenapa di panggil eye._. soalnya dia kalo dirumah sukan di panggil eye. Tapi kalo menurut gue,kenapa panggilannya eye itu karena mungkin matanya. Entah kenapa gue suka matanya. Dia juga mayan di pelajaran.
5. Gue
Terakhir gue. Gue ini aslinya kalem. Gak banyak tingkah. Gue selalu diem sama orang yang gak terlalu gue kenal,mau itu sodara jauh atau yang lainnya. Gak pernah buka suara saat itu juga. Jujur,sempet bosen juga kaya gitu. Tapi inilah gue. Kalo udah ngumpul bareng sama mereka ber 4 semua kelakuan asli gue ilang gitu aja dan malah jadi sebaliknya. Sebenernya gue gak begitu tau gimana gue. Gue kalo udah punya keinginan,pasti gue perjuangin. Cepet banget down kalo udah ada yang jatuhin semangat gue. Mood gue juga cepet banget berubah dari seneng,tbtb bĂȘte. Gue punya julukan ‘ BELO ‘ karena mata gue yang melebihi batas standar. Tapi menurut gue,gue gak belo cuman lebar *sama aja* julukan itu awal dari mereka ber 4 yang ngasih. Gue sih terima-terima aja. Dan nama julukan itupun nyebar kemana-mana-_-.

Udah gitu aja …. Kalo kurang,koment coba-,-

Rabu, 19 Desember 2012

Suratku Untuk Ibuku

Ibu ...
Kata yang sering terdengar
Ibu...
Panggilan yang tak lagi asing di telinga

Ibu,aku mencintai ibu. Karena Ibu aku mengenal dunia yang bermacam warna ini.

Kau dengan tertatih melangkah saat usiaku di kandunganmu mulai membesar. Meringis sakit saat aku dengan tidak pedulinya menendang perutmu,tapi kau begitu sabar dan menahan segala sakitnya. Kau begitu peduli padaku saat itu. Saat ku tertidur,kau dengan sangat perlahan mengurus rumah yang kau bisa. Sedangkan ayah,pergi untuk bekerja. Menabung setiap lembar gaji yang di perolehnya untuk biaya persalinan ku. Pasti ayah sangat lelah harus bekerja keras,tapi

Bukan Muka Tomat Biasa'-'b

Jeng Jeng Jeng~~~ balik lagi sama gue kembaran dari bella swan(?) belo suwan._. sebenernya gue mau nyeritain kejadian malu-maluin. jadi ceritanya bergini. CEKIDOT DOT DOT >>>>

Jadi hari jumat itu terakhir gue UAS. Gue duduk sama ade kelas. posisi duduk gue di sebelah kiri,sedangkan ade kelas di sebelah kanan. saat itu gue sama ade kelas tukeran tempat duduk sementara karena waktu itu belum ada guru pengawas. Gue duduk disitu adem anyem tanpa kendala ataupun semut di mata(?). Pas udah bel,gue balik ke tempat duduk gue tapi ETSSSSS pas gue mau duduk ke tempat duduk gue,gue main asal duduk aja. gak merhatiin posisi kursi dan jadilah hal memalukan. Gue jatohin diri ke tempat duduk tepat di sisi kursi. Akhirnya tuh kursi oleng ke kiri,entah gimana saat itu ekspresi gue. bukan cuma gue yang masang ekspresi kaya tomat,ternyata ade kelas dan pirting juga sama. tapi gue lebih ngakak ngeliat ekspresi pirting. di bilang kaya tomat kaga,terong kaga,semangka juga kaga,durian mungkin juga gak *ini apa*._. setelah kejadian itu gue sama pirting ketawa,ade kelas gue? gak tau deh,mungkin dia ketawa dalam hati-_-". guru pengawas dateng,gue pun sama pirting kembali hening-bening

Sudah ~~ Begitu cerita gue yang mungkin gaje karena gue bukan penulis macem raditya dika '-')a

Minggu, 16 Desember 2012

Satu Kata Maaf

Siantan, Pontianak
20 Juli 2004
Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di sekujur tubuhnya.
Komplikasi penyakit jantung, darah tinggi, dan paru-paru menggerogoti
bobotnya yang dulu subur berisi. Dari balik selimut terlihat jelas
tulang-belulangnya tersembul. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak
mencari aliran udara, menghirup, dan mengeluarkan napas dengan
tersengal-sengal. Ia tampak tersiksa sekali.

Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk. Bukan saja
karena takut, tapi juga karena enggan. Enggan melihat kondisi
sakitnya, enggan bertegur sapa dengan orang-orang yang mungkin ada di
dalam ruangan itu, dan enggan berdamai dengan perasaan sakit hati yang
selama belasan tahun terpupuk hebat dalam hatiku. Tak mudah menghapus
luka lama.
Siang ini aku baru saja sampai di Jakarta, setelah tiga hari mengikuti
pameran di Bali. Taksi yang kutumpangi dari bandara sudah berhenti di
depan rumah. Ponselku tiba-tiba berbunyi. "Pulanglah, Mei Cen.
Waktunya sudah tiba," suara yang sudah sangat kukenal langsung
menyergap pendengaranku.

Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak sabar, hendak
menagih ongkos. "Jangan keraskan hati lagi, sudah saatnya mengakhiri
semua kebencian. Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup!"
suara itu kembali terdengar, kali ini nadanya menyakitkan.

Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama didengungkan terus oleh
sang penelepon. Aku sudah katakan padanya, tak perlu repot-repot
membujuk lagi. Aku tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi
keinginannya. Titik.

Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya aku sibuk
mengamati pernak-pernik kegiatan pameran, aku malah sering
terbengong-bengong. Seperti mantra, isi pesan telepon itu berbalik
menghantui, membuat setiap detik hidupku menjadi seperti bara api.
Batinku bergolak hebat. Antara rasa sayang dan dendam. Antara rasa iba
dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah merasa sangat letih menanggung
beban ini. Mungkin, Tuhan memang khusus merencanakan saat ini untuk
mempertemukan kami berdua. Saat kami harus bicara tentang kepahitan
masa lalu.

Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku menghitung dalam
hati. Sudah berapa lama kenangan buruk itu menyiksaku? Lebih dari lima
belas tahun. Sama sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam
lubuk hati, aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Mulai belajar
memaafkan lagi, belajar menyayangi lagi, belajar melupakan segala
sesuatu yang telah terjadi, belajar untuk memiliki hati dan jiwa yang
baru. Ya, aku harus segera memulainya. Sekarang. Dengan mantap, aku
meminta sopir taksi memutar kembali mobilnya dan mengantarku ke bandara.

Karena ada kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam barulah pesawat
mendarat di Pontianak. Untuk sampai di rumah sakit tempat Mama
dirawat, aku masih harus meneruskan perjalanan sekitar empat puluh
menit lagi menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil yang pengap karena
asap rokok dan keringat lima orang lainnya, aku kembali mempertanyakan
niat hatiku. Bagaimana jika Mama menolak bertemu denganku? Bagaimana
jika ternyata seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu mengusirku?
Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku akan remuk dua kali,
tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan, sudah benarkah keputusanku kali ini?

Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah mondar-mandir tak
keruan. Ternyata, bukan hal mudah untuk masuk ke dalamnya, lalu
menyapa, "Apa kabar, Mama? Aku sudah datang!" Untuk menenangkan
jantungku yang rasanya berdebar tiga kali lebih cepat, aku segera
menyingkir ke ujung lorong yang redup. Dengan gelisah aku bersandar di
tembok, sambil berulang kali mengetukkan hak sepatu di lantai yang kusam.

Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu teganya aku
membiarkan dia terkapar sendirian di dalam sana, sekarat menghadapi
ajal. Padahal, aku sudah mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu,
tapi tak pernah sekali pun aku berniat menjenguknya, apalagi
mendampingi di saat-saat terakhirnya.

Tapi, hei… tunggu dulu! Jahat? Aku jahat? Bukankah wanita itu jauh
lebih jahat? Lihat saja apa yang selama ini dia lakukan padaku! Dia
bukan saja tidak mengasihiku, tapi juga ingin melenyapkanku dengan
segala macam cara. Dia ingin membunuhku! Aku, darah dagingnya sendiri!

Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir, yang terhebat,
dan yang paling tak bisa kulupakan. Setiap suku katanya bahkan masih
aku hafal dengan jelas.

"Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Mengertilah
sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat masalah?
Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan Mama? Enak saja kamu bicara,
sepertinya paling pintar sedunia! Semua yang kalian pakai dan makan
itu hasil jerih payah Mama, tapi kamu sama sekali tidak tahu terima
kasih. Tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar
anak pembawa sial!"

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa
sial, itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di
rumah ini.

"Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai sekarang, tanggungan
Mama berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai
untuk membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah,
tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi! Akan kubuktikan, aku bisa
hidup tanpa kalian!" jeritku membabi buta, lalu menerjang kamar, dan
mengemas barang-barangku.

"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari
rumah ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar
anak sinting! Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing, sudah besar
tambah bikin masalah! Anak kurang ajar, anak durhaka! Makin cepat kamu
keluar dari rumah ini, makin baik!" teriak Mama, melengking tinggi.

Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi ranjang. Malang
benar nasibku. Lahir tak dikehendaki, hidup pun tak punya arti.
Berjam-jam lamanya aku menangisi diri, sambil memasukkan
barang-barangku yang tak seberapa banyak. Aku tak tahu akan ke mana.
Tapi, keinginanku saat itu hanya satu. Pergi jauh dan tidak kembali lagi.

Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata. Kejadian yang
lalu itu menyisakan dendam dan kebencian luar biasa di antara aku dan
Mama. Aku bertekad, tak ingin lagi menggoreskan namanya dalam hidupku.
Begitu juga sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng pembenaran diri
sendiri.Aku berjuang luar biasa keras demi memenuhi sesumbar sumpahku,
tanpa pernah berpikir untuk kembali ke kota ini lagi.

Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat. Sampai
akhirnya, sekarang aku ada di sini. Duduk menatap langit, tak tahu
harus berbuat apa. Bulan di ujung rimbunan pohon rupanya sedang malas
menyembulkan sinarnya, membuat kulit tanganku makin pucat dan gemetar.
Air mataku menetes lagi.

September 1968
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan ini tak sama
dengan yang kemarin. Tidak ada mainan bola yang digantung di atas
kepala. Tidak ada gambar ikan berenang dilukis di tembok. Tidak ada
balon warna-warni melambai di dekat jendela. Sambil menggeliat
melemaskan otot yang masih agak kaku, aku menelengkan kepala. Kenapa
sepi sekali? Mana teman-temanku? Bukankah semestinya mereka juga ada
di sini, berbaring berjajar dalam boks yang bersekat-sekat? Biasanya
teriakan mereka membuat aku marah. Berisik sekali. Walaupun agak
menyebalkan, aku sayang pada mereka.

Ingat soal minum, perutku lapar bukan main. Biasanya, wanita berbaju
dan bertopi putih selalu datang untuk memandikan dan mendandaniku
dengan bedak wangi. Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil
menyorongkan botol susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku mulai
menggesek-gesekkan kaki, terasa lengket. Kenapa, sih, tidak ada yang
mengganti popokku? Basah dan dingin menempel di kulit, belum lagi
ditambah tiupan angin dari jendela kayu yang terbuka. Coba tunggu
sebentar lagi, siapa tahu wanita berbaju dan bertopi putih akan muncul
dan menyapaku seperti biasa, "Halo manis, sudah bangun?" Tapi, setelah
lama menunggu, pintu itu tetap tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar lagi!

Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku spontan berteriak
kaget. Seseorang berjalan masuk. Siapa wanita ini? Kenapa dia tidak
berbaju dan bertopi putih? Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku
mencoba mengingat. Wah, mukanya tidak ramah. Aku pikir dia akan segera
menggendong dan memberiku minum, tapi …. Hei, dia kembali berjalan ke
arah pintu, membuka, dan menutupnya lagi, seolah tidak peduli pada
tangisanku.

Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan kedinginan seperti ini?
Huh, lebih enak tinggal di perut Ibu. Mau makan, tinggal isap. Makanan
akan langsung sampai di depan mulut. Mau berhangat-hangat, tinggal
bergelung di selimut cairan ketuban. Semua serba enak, tidak perlu
capai-capai menangis jika ingin sesuatu.

Ups! Tunggu dulu! Ibu? Apakah wanita yang tadi datang itu ibuku? Bisa
jadi. Berarti, aku sudah ada di rumah dan ini kamarku? Asyik juga,
paling tidak aku tidak perlu repot berdesak-desakan tempat dengan
teman-teman lain seperti kemarin. Tidak perlu berebut minum, mainan,
dan berebut minta perhatian. Aku sendirian. Hore! Aku jadi raja! Enak
juga, ya, punya ibu. Tapi, mana dia? Oh, itu dia datang lagi. Tapi,
kenapa, sih, dia selalu membuka dan menutup pintu de-ngan suara
sekeras itu? Telingaku jadi sakit. Aku menangis lagi.

Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan menyekaku
dengan kasar. Rupanya, dia marah padaku karena buang air besar. Lalu
bagaimana lagi? Umurku kan baru 5 hari? Aku belum bisa membersihkan
kotoranku sendiri. Minumnya mana, Bu? Yah, kok, susunya dingin…. Tapi,
biarlah, daripada tidak sama sekali. Karena kelaparan dan hanya
disuguhi sedikit, aku melengkingkan suara, tanda minta tambah. Walau
dengan muka galak dan mulutnya mengomel, dia memberiku sedikit susu lagi.

Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan menyeka dengan air
hangat. Aku asyik memerhatikan wajahnya. Rasanya, wanita berbaju dan
bertopi putih yang selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga
harum. Sedangkan wanita di depanku bertubuh agak gemuk dan memiliki
raut wajah keras. Pakaiannya mirip seperti gorden. Tapi, tak apa, dia
adalah ibuku. Hmm... enaknya aku panggil apa, ya? Ibu, Mama, Mami,
atau Bunda? Lebih enak Mama. Mudah mengucapkannya.

Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau masih kedinginan.
Bajuku bertangan pendek, tanpa dibalut kain bedong, tanpa kaus kaki.
Bawa aku berjemur di luar, Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk
disapa pagi ini. Atau, kalau tidak, dekaplah aku sebentar di dada
Mama, karena aku ingin kehangatan.

Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan senyum termanisku,
berharap ia akan tertawa dan menggelitiki pipiku. Tapi, Mama malah
membenahi ember dan baju kotor, lalu kembali menghilang dari balik
pintu. Sia-sia aku menunggunya terus pagi ini, berharap ia mau bermain
denganku sejenak. Sepanjang sisa hari itu Mama hanya menjengukku tiga
kali. Datang melongok untuk mengganti popok dan menyodorkan botol susu
yang isinya tak banyak.

Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia hanya mengayunku
sebentar, tidak memberi pelukan selamat tidur atau ciuman. Aku
menangis sedih karena ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan
tubuh, memunggungiku. Aku mulai protes dan meronta, tapi yang kudapat
adalah cubitan kecil di kaki. Sakitnya…. Lagi-lagi aku menjerit. Makin
melengking suaraku, makin dalam Mama menekuk tubuhnya.

Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari dengan terlalu
banyak tangisan, akhirnya aku tertidur dengan mengulum jempol
tanganku. Ini hari pertamaku datang ke rumah, bertemu sosok Mama yang
sudah sembilan bulan mengisi bagian hidupku, tapi aku sudah merasa
tertolak.

Januari 1972
Seluruh kejadian itu berulang terus hingga aku menginjak tiga tahun.
Walau setiap malam aku tidur dengan Mama, aku hampir tak pernah
mendapat pelukan dan ciuman sayang. Paling-paling hanya usapan di
kepala. Kata-kata manis, nyanyian kecil, atau dongeng pengantar tidur
juga tak aku dapatkan.

Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya pendek-pendek dan nadanya
datar, kadang-kadang agak membentak. Padahal, aku ingin tahu rasanya
bermanja-manja, apalagi jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh
tak enak, tidur tak nyenyak, makan pun tak suka. Kalau saja Mama mau
sedikit memanjakan aku dengan pelukan, aku sudah cukup terhibur.

Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja Mama bersikap pelit,
soal keperluanku yang lain juga begitu. Makan dijatah, minum susu
dibatasi. Kalau masih lapar, minum saja air putih banyak-banyak,
begitu kata Mama.

"Di rumah ini bukan cuma kamu yang butuh makan, Mei Cen. Masih ada
enam kakak, dua kakak ipar, Tante Lin, Oma, dan Mama. Kita harus
saling berbagi, jelas?" tegur Mama galak, ketika suatu kali aku
merengek minta porsi daging gorengku ditambah.

Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari, sekerat kecil daging
dan separuh bagian telur satu kali seminggu, sementara sisanya adalah
sayur-mayur saja. Mula-mula, tentu saja aku menolak aturan itu dengan
tangisan merajuk dan mulai menga-muk. Tapi, setelah merasakan panasnya
sabetan tangan Mama di pantatku, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dan
bisa belajar menahan lapar lebih lama.

Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu cuci muka saja
sepanjang minggu. Irit air, irit sabun. Kalau kutanya mengapa, jawab
Mama singkat saja, "Karena kita bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah
sedikit." Tentu saja aku belum bisa mengerti apa arti perkataan itu,
seperti juga ketidakmengertianku tentang kondisi tangan dan kakiku.

Kamis, 06 Desember 2012

(Cerpen) Sejuta Rinai Hujan

Aku suka melihat pelangi. Bias ketujuh warnanya yang indah, serta kilaunya yang menakjubkan, mampu membuat aku betah duduk berlama-lama hanya untuk memandanginya. Seperti halnya saat ini. Di tempat faforitku, bukit kecil di belakang komplek. Aku duduk sendiri, menikmati pelangi, di temani bau rumput yang khas selepas hujan siang tadi.

 Baru beberapa menit berlalu, rasa dingin dari angin sore yang berhembus, mengganggu ketenanganku bersama pelangi. Dan sialnya, karena terburu-buru pergi kemari, aku lupa untuk membawa jaket. Aku terus mengusap-ngusap kedua tanganku, berharap sedikit saja ada rasa hangat yang dapat tercipta darinya.

“Kedinginan ya ? bawa jaket makanya” aku mengangkat wajahku. Sebuah jaket telah di pakaikan di badanku.

“Kakak..” aku tersenyum, lalu membetulkan letak jaketku. “Kok kesini ?”.

“Kan mau nemenin kamu vi, enggak boleh nih..” orang yang ku panggil kakak itu mengacak-ngacak lembut poniku sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum bersamanya.

“Bukan gitu. Emang kakak udah sehat ?”

“Selalu sehat kalau buat nemenin kamu”

“Huuu..” cibirku sambil bercanda. Ia hanya terkekeh.

“Kan kamu obat yang paling manjur buat aku” tambahnya lagi. Terbiasa mendengar kata-kata seperti itu, bukannya tersipu aku malah hanya tersenyum kecil menanggapinya. Lalu kami terdiam berdua, sibuk menikmati pelangi yang pelan-pelan mulai memudar.

Tiba-tiba ia bersuara, memecah kesunyian ini. “Aku minta maaf ya, kemarin lusa kita enggak jadi ja...”

Aku langsung menoleh ke arahnya, dan meletakkan jari telunjukku di bibirnya. “Enggak masalah kak, yang penting sekarang kakak ada disini buat nemenin aku lihat pelangi”

Lagi-lagi ia tersenyum dan mengacak poniku. “Via..via..cinta banget ya kamu sama pelangi..”

***

Dengan langkah tergesa-gesa, aku menyusuri koridor sekolah. Tangan kananku menggenggam handphone erat-erat. Meski ini bukan untuk pertama kalinya, tetap saja kepanikan itu datang memenuhi otakku.

“Brakk..” aku menyeruak masuk ke dalam uks, membuat beberapa pasang mata disana langsung menoleh padaku, tapi aku tidak peduli. “Kak Alvin..”

Aku menghampirinya. Kak rio yang berdiri di samping ranjangnya, langsung menyingkir, memberi jalan untukku.

“Kakak, enggak apa-apa kan ?” tanyaku langsung.

 

“Aku enggak apa-apa. Cuma sedikit kecapaian aja” ujarnya parau, sambil tersenyum, aku tahu, seperti biasa ia sedang mencoba menenangkan perasaanku.

Aku menarik kursi dan duduk disampingnya. “Maaf kak, tadi aku ada susulan sejarah, makanya enggak bisa istirahat, enggak bisa nemenin kakak main futsal, enggak bisa jagain kakak”

Kak Alvin mengangkat tangannya, menyingkirkan beberapa helai rambut yang ada di wajahku, dan menyelipkannya di belakang telinga. Ia tersenyum. “Aku yang lupa jaga diri, bukan salah kamu”

“Padahal gue udah ngingetin dia lho vi, dianya aja yang ngeyel” timpal kak rio yang sedari tadi memilih diam.

“Udahlah, guenya juga baik-baik aja kan, cuma sedikit mimisan doang. Enggak ada yang perlu di khawatirin” aku langsung melirik ke dalam tempat sampah yang ada tepat di samping kursiku, ada banyak tisu penuh darah disana. Aku kembali menatap kak alvin, memberikan tatapan cemasku untukknya, dan dia sepertinya mengerti itu.

“Aku enggak apa-apa vi, percaya deh sama aku” kalau sudah begini aku hanya bisa mengangguk. Bukan tidak mau menambah masalah, atau mendebatnya lebih panjang lagi. Keadaan seperti ini yang telah terjadi berulang-ulang, membuat aku telah tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.

“Ya udahlah gue balik ke kelas duluan ya sob, entar gue anterin deh elo balik” ujar kak rio. Aku dan kak alvin hanya tersenyum sambil mengangguk, lalu menyaksikannya keluar pintu uks, menyisakan kami berdua saja.

Aku menatap wajah kak alvin lekat-lekat, masih ada sisa darah di bawah hidungnya. Dengan mengunakkan tisu, aku mulai membersihkan itu. Dan selama aku melakukan itu, yang aku dan kak alvin lakukan hanya diam.

Tiba-tiba tangan kak alvin menghentikan tanganku. “Besok kamu nemenin aku kemo kan ?”

“Iya dong..” jawabku sambil tersenyum dan kembali melanjutkan aktivitasku yang tadi dihentikan olehnya.

***

 

Dari balik kaca, aku hanya bisa meremas ujung kaosku keras-keras, sambil sesekali memejamkan mata. Disaat seperti ini, rasanya sungguh susah bila harus menahan air mata. Terlalu susah malah. Tapi aku tahu, kak alvin tidak akan suka jika menemukan aku sedang menangis untuknya.

“Argh..sakit dok..” aku menggigit bagian bawah bibirku, hatiku langsung terasa miris mendengar erangan kak alvin dari dalam. Namun sekuat hati aku menegarkan hatiku. Bisa saja aku menunggu di ruang tunggu, dan baru menemui kak alvin ketika proses kemo telah selesai. Tapi aku tidak mau membiarkan kak alvin merasakan sakit itu sendiri. Aku ingin selalu menjadi orang pertama yang duduk disampingnya, untuk mentransfer kekuatanku untuknya.

Setelah kurang lebih satu jam yang menyiksa. Akhirnya aku kembali diijinkan untuk melihat senyum kak alvin yang lembut lagi. Aku bersukur, senyum itu masih aku temukan menyapa mataku, meski lemah. Aku juga tersenyum ke arahnya, duduk disampingnya, dan menggantikan suster menyeka bulir-bulir keringat di pelipisnya.

“Hari ini kakak hebat..” pujiku, dan ia hanya terkekeh pelan. Aku tahu rasa sakit itu masih tertinggal di dalam tubuhnya.

Wajah kak alvin masih terlihat merah, tapi ia masih tetap tampan dimataku. Itu tidak akan pernah berubah. Ia akan tetap selalu menjadi yang paling juara untukku, kemarin, hari ini, esok dan seterusnya. Bahkan mungkin meski nanti raganya tidak dapat aku sentuh seperti ini, ia tetap tidak akan terkalahkan.

“Erghh..” kak alvin menutup mulutnya, aku tahu, ia mual. Dengan segera aku sodorkan baskom kecil ke arahnya. Dan ia langsung memuntahkan cairan bening dari mulutnya, dengan sabar, aku memijat-mijat tengkuknya. Aku tidak akan pernah jijik melakukan ini, aku justru bangga, bangga karena bisa membantunya meski sedikit.

“Makasih ya..” desahnya pelan.

“Basa-basi banget kak, kaya baru pertama kali aja. Aku kan seneng ngelakuin ini buat kakak” ujarku jujur. Karena memang seperti itulah adanya. Ini janjiku, janji yang aku ikrarkan dalam hati ketika pertama kali aku tahu kondisinya. Dan untuk alasan apapun, aku tidak akan pernah mengingkari itu. Aku tidak akan menjadi munafik.

Butuh satu hingga dua jam, untuk mengembalikan energi kak alvin seperti sebelum kemo. Dan selama itu, aku hanya memandanginya yang baru saja terlelap tidur. Dengan ujung telunjukku, aku menyentuh pipinya pelan. Membuat kelopak matanya yang terpejam sedikit bergerak. Setidaknya aku tahu, masih ada jiwa ditubuhnya.

Sejujurnya, aku selalu takut melihatnya tertidur. Takut ia tidak akan pernah bangun, dan tersenyum lagi padaku. Takut waktunya akan berhenti tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Takut masanya akan berakhir dan aku tidak bisa menemuinya lagi.

Aku mengenalnya hampir melebihi setengah usiaku. Ia menjadi tetangga baru saat aku berusia tujuh tahun dan dia delapan tahun. Dan sejak saling berkenalan, kami mulai suka bermain bersama. Ia tidak pernah keberatan menemaniku bermain boneka atau masak-masakan, dan aku selalu suka jika ia memintaku menemaninya bermain bola.

Pertemanan itu tidak pernah berakhir. Kak alvin selalu menjadi kakak kelasku di sekolah yang sama. Akulah orang pertama yang ia peluk saat pengumuman kelulusan. Akulah orang pertama yang selalu dapat potongan kue ulang tahun pertama selama 10 tahun berturut-turut.  Akulah orang pertama yang ia ajak saat ia mendapat motor barunya di kelas tiga smp. Akulah orang pertama yang mendapat tanda tangannya saat ia menjabat sebagai ketua osis waktu mos tahun kemarin. Dan dia, dialah orang pertama yang aku cari saat rasa takut menyerangku. Dialah orang pertama yang aku temui saat aku tidak bisa menjawab soal matematika yang membuatku kepalaku ingin meledak. Dialah orang pertama yang mengajariku mengendarai sepeda. Dialah orang pertama yang membuat aku ingin menjadi lebih baik untuk seseorang, dan itu dia.

Dan hingga saat inipun, hubungan kami tetap teman, tetap sahabat. Itu tidak pernah berubah. Meski saat ini usiaku sudah enam belas dan dia tujuh belas. Meski saat ini aku sudah tidak lagi bermain masak-masakan atau boneka. Kami tetap teman, meski di belakang kata teman itu, telah ada kata spesial yang mengikutinya.

Aku masih ingat dengan jelas. Saat aku menangis berjam-jam, ketika kak alvin memberitahuku bahwa ia mengidap kanker otak dengan stadium yang sudah parah. Saat jari-jarinya merengkuhku dalam pelukannya, dan menenangkan tangisku yang tidak kunjung berhenti. Seolah vonis mati muda itu jatuh padaku dan bukan padanya. Saat aku akhirnya tertidur karena terlalu lelah menangis, dan ia hanya menemaniku dalam diam.

Dan untuk semua alasan itulah. Aku ingin selalu menemaninya sekarang. Selama yang aku bisa. Selama desah nafasnya yang masih tersisa. Entah sudah berapa kali aku dan kak alvin membahas tentang kepergiannya. Bagaimana ia berusaha meyakinkan aku bahwa tidak perlu ada air mata yang tumpah selama bermalam-malam untuknya. Bagaimana ia berusaha menekankan padaku bahwa mungkin kematian itu akan jadi jalan terbaik untuknya. Dan bagaimana ia berusaha mengajariku bahwa mencintai tidak perlu harus membuat aku akan tersiksa karena kepergiannya dan ia berat karena harus meninggalkanku.

Satu tahun berlalu, dan pikiran-pikiran positif itu mulai merasuk dalam otakku. Tidak pernah ada waktu saat kami menangis berdua atau terpuruk berdua bila mengingat tentang penyakitnya. Layaknya film sedih yang sering aku tonton. Kami selalu menari di bawah lagu-lagu yang riang, bukannya di iringin musik-musik mellow yang menyayat hati. Dan kami selalu tertawa berdua melewati semuanya, sesedih apapun itu, karena kami sama-sama percaya Tuhan punya rencana yang indah dibalik ini semua.

Meski begitu, aku tidak bisa berbohong bahwa aku tetaplah seorang perempuan dengan segudang perasaan yang kadang menimbulkan pikiran yang terlalu paranoid. Ada titik dimana aku menjadi labil dan merasa takut akan apa yang terjadi di depan kami. Dan saat itu, kak alvin akan membiarkan aku menangis. Tapi ia sambil menunjukkan padaku, bahwa ia sendiri, belum menyerah untuk mengubah takdirnya, untuk ingin lebih lama menikmati dunia. Ia memang orang yang penuh semangat yang selalu aku kagumi.

“Vi..” aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. “Udah bangun kak ?” tanyaku.

“Maaf ya, biarin kamu bengong sendirian gini” senyumnya telah terlihat lebih cerah sekarang.

“Santai kak. Kakak mau makan ?”

Kak alvin menggeleng. “Aku mau jalan-jalan, temenin aku mau kan ?” lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk, menyiapkan kursi roda lalu membantunya untuk duduk dan turun dari kasurnya.

Hatiku sedikit miris melihat rambutnya yang tebal, rontok menempel di bantal. Tanpa sadar aku terus-terusan melihat itu.

“Kayanya lusa aku mau botakkin rambut aja deh vi, biar enggak ngotor-ngotorin bantal gini” ujarnya menyadarkanku.

“Hah, kakak yakin ?”

“Kenapa ? kamu enggak malu kan kalau aku botak ?”

“Enggaklah kak, malu kenapa coba ? mau rambut kak alvin kaya apa aja, aku bakal tetep suka kok” sahutku, sambil diam-diam membayangkan kak alvin dengan rambut botaknya. Mungkin bakal terlihat aneh, tapi aku tidak akan peduli dengan itu. Atau malah mungkin dengan begitu, beberapa fans kak alvin yang kadang suka membuatku cemburu akan menyingkir dengan sendirinya.

“Beneran nih ?” tanyanya lagi setengah menggodaku. Aku langsung mengangguk mantap ke arahnya.

“Iya deh aku percaya. Lagian kan ada ini..” kak alvin mengeluarkan sebuah topi rajutan berwarna putih dengan ornamen namanya yang berwarna merah, hasil buatanku sendiri beberapa minggu yang lalu. “Kan aku jadi bisa pakai ini. Ganteng kan ?” ia menaik turunkan alisnya, sambil memakai topi itu, menutupi rambutnya yang menipis.

“Selalu ganteng, apalagi pakai topi itu, yang bikin aja cantik..” jawabku bangga, dan ia hanya tertawa sambil mengacak sedikit rambutku.

 

Pelan-pelan, aku mulai mendorong kursi rodanya. Aku dan kak alvin sama-sama menebar senyum kepada setiap dokter dan suster yang kami temui sepanjang koridor rumah sakit. Satu tahun dengan intensitas dua kali seminggu kemari, membuat kami layaknya telah menjadi bagian keluarga besar rumah sakit ini. Aku terus mendorong kursi rodanya, meski tidak saling memberi tahu satu sama lain, kami berdua sama-sama tahu, kemana tujuan kami.

Di depan taman kecil, tepat di samping cafetaria rumah sakit, aku berhenti dan duduk di bangku taman. “Setiap kita kesini, pasti ada bunga yang layu dan yang mekar..” ujar kak alvin.

Aku memperhatikan bunga-bunga yang kak alvin maksud, dan benar saja. Rasanya baru beberapa hari yang lalu, aku melihat bunga kecil berwarna ungu di sudut taman mekar dengan indahnya, dan kini ia layu, digantikan dengan bunga berwarna kuning di sudut lain yang beberapa hari lalu masih berbentuk kuncup.

“Aku enggak pernah merhatiin itu sebelumnya, baru sadar pas kakak bilang”

“Itu sama aja, kaya waktu manusia. Di rumah sakit ini, hampir tiap jamnya, ada yang meninggal dan ada yang dilahirin. Berarti Tuhan adil kan..” aku mulai tahu kemana ia akan membawa obrolan ini.

“Kalau seorang anak lahir, pasti banyak orang berucap sukur ke Tuhan, tapi ketika seseorang pergi pasti ada aja orang yang sedikit ‘menggugat’ Tuhan” sahutku sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah di kedua tanganku dan menekuknya berbarengan, mengekspresikan tanda kutip.

“Kamu bener vi, dan aku enggak suka kaya gitu. Aku enggak mau, kamu atau siapapun nanti, akan menyalahkan Tuhan kalau aku enggak ada. Walaupun aku enggak suka sama takdir yang Tuhan kasih buat aku, seenggaknya Tuhan udah membalas itu dengan mengirimkan orang-orang yang terbaik di hidup aku sekarang..” itu yang aku suka dan selalu aku idolai dari kak alvin. cara dia menerima dan menjalankan hidupnya, tanpa kata menyerah, selalu optimis, tapi ia tetap tahu sejauh apa ia menggantungkan harapannya.

“Aku tahu kak..”

“Aku bangga sama kamu vi. Belum tentu cewek lain bisa mikir kaya kamu, kamu hebat..” aku tersenyum mendengar pujiannya.

“Ini juga gara-gara kakak, aku enggak akan punya pikiran positif kaya gini, kalau bukan karena kakak yang ngasih aku pandangan-pandangan itu”

“Apa kamu bahagia jadi pacar aku ?”

Aku tersenyum ke arahnya. Menatap matanya, hingga aku bisa melihat pantulan mataku di kedua bola matanya. “Selalu bahagia. Aku bahagia, karena kisah ini enggak kaya kisah orang kebanyakan, aku bahagia, karena kakak udah bikin kisah ini, cuma jadi kisah kita..”

“Maksud kamu ?”

“Banyak cerita tentang hubungan yang salah satu pasangannya, sama kaya kakak, dan mereka banyak ngelaluin itu dengan air mata. Dengan hal-hal aneh, kaya pasangan yang mau meninggal, nitipin pacarnya ke orang lain, atau malah kadang dengan sengaja mereka nyakitin pacarnya dengan alasan enggak mau pacarnya sedih ngelihat dia tersiksa, dan baru deh di detik-detik terakhir hidupnya mereka balik lagi cuma buat bilang sayang” jelasku panjang lebar.

Kak alvin tersenyum kecil. “Kamu kebanyakan nonton sinetron sama baca novel nih..”

“Hehe, abis emang gitu sih. Padahal dengan saling melengkapi kaya kita gini, beban bakal terasa jauh lebih mudah kan kak ?”

“Aku emang enggak salah pilih, kamu memang yang terbaik buat aku..”

***

Dari bangku cadangan, aku melihat kak alvin yang tampak semangat bermain futsal. Tidak seperti penonton lainnya, aku memang memiliki hak khusus untuk duduk di bangku cadangan. Sama halnya seperti kak alvin, meski futsal jelas-jelas sangat membahayakan kesehatannya, tapi ia memiliki hak bermain selama lima belas menit setiap pertandingan.

Pak aris, pelatih futsal di sekolah kami, memperhatikan stop watchnya, dan beberapa detik kemudian langsung memerintahkan pergantian pemain. Hatiku bergetar, ketika para penonton memberikan standing applause saat kak alvin meninggalkan lapangan diikuti juga oleh pemain lain dan tentu saja aku. Padahal di pertandingan ini, kak alvin hanya memberikan assist untuk sebuah gol indah yang berhasil di cetak oleh kak rio. Kak alvin berdiri sejenak, memandangi seluruh stadion, dan bertepuk tangan untuk mengucapkan rasa terimakasihnya, aku tahu, bagaimana perasaan kak alvin sekarang, ini adalah pertandingan terakhirnya.

Aku langsung menyodorkan handuk dan sebotol minuman kepadanya. Tidak lupa aku memeriksa suhu tubuhnya, dan mengangsurkan obat penghilang rasa sakitnya.

“Kakak pasti sedih ya ?” tanyaku pelan. Ia menghela nafasnya sejenak, lalu sambil terus memperhatikan pertandingan, ia mulai menjawab pertanyaanku.

“Tadinya aku pengen bisa nyetak gol di pertandingan ini vi. Kamu tahu kan, aku udah main bola dari kecil, dan hari ini mau enggak mau, aku harus mulai melepas ini. Berat banget, tapi bukan berarti aku enggak bisa kan ? ini semua demi kebaikanku, dan walaupun aku enggak bisa nyetak gol di pertandingan ini, seenggaknya aku tadi masih bisa buktiin, kalau seorang yang kena kanker otak stadium akhir bisa juga berguna di sebuah tim” aku meraih tangannya, mendekapkan jariku di jarinya.

“Buat aku, kakak selalu hebat. Enggak peduli kakak nyetak gol atau enggak, permainan kakak tadi udah keren banget buat aku. Aku bangga”

“Makasih..” aku membalasnya dengan senyum, dan kemudian ikut larut menikmati pertandingan bola ini bersamanya.

***

Rasanya aku ingin menangis saat ini. Ketakutan yang telah mengintaiku sejak lama itu, akhirnya datang juga, perlahan mengendap dibelakangku dan mengagetkanku dengan tiba-tiba. Kak alvin pingsan sejak kemarin sore dan hingga hari ini ia belum juga sadarkan diri. Meski aku berusaha mengingat segala macam perbincangan kami, tentang bila ini terjadi, ternyata tidak semudah itu melaluinya. Ternyata air mataku tetap saja berproduksi sendiri dan memaksa ingin mengalir.

Aku menggenggam tangannya. Kata dokter, kondisinya terus melemah. Orang tua kak alvin juga sudah pasrah dengan semua kemungkinan, dan akupun begitu. Hanya saja aku sedikit tidak rela, bila ia pergi tanpa memberiku kesempatan untuk menatap matanya sejenak. Entah itu hanya sedetik, tapi aku ingin.

Hujan yang turun sejak tadi pagi, perlahan mulai mereda. Meninggalkan rintiknya yang tinggal satu-satu. Dan sebentar lagi pasti ada pelangi. Tidak tahu ini muluk atau tidak, tapi aku ingin melihat pelangi ini, bersama kak alvin, seperti biasa, meski kali ini, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Tiba-tiba tangannya yang aku genggam bergerak-gerak, aku langsung mendekatkan wajahku ke arahnya. “Kak..kak alvin..” panggilku.

Matanya terbuka, senyum tipis terpoles di bibirnya yang kali ini berwarna putih, tidak merah seperti biasanya. Aku menekan bel beberapa kali, dan dokter langsung datang untuk memeriksa keadaannya. Aku menunggu sendiri diluar ruangan. Kedua orang tua kak alvin masih dalam perjalanan kemari setelah semalam juga menginap disini. Sesekali aku mengintip dari celah kaca pintu, ingin tahu bagaimana keadaannya, bagaimana keadaaan pangeranku.

Aku masih berdiri di depan pintu ketika dokter keluar. “Gimana dok keadaan kak alvin ?”

“Keadaannya membaik, kondisinya tiba-tiba menjadi stabil, dan semoga tidak kembali turun. Dia bilang, dia meminta kamu untuk menemaninya jalan-jalan”

“Apa boleh dok ?”

“Sebentar saja ya via, paksa dia untuk kembali ke kamar bila sudah setengah jam” aku mengangguk dengan senyum sumringah. Dan langsung menghambur masuk ke dalam untuk menemui kak alvin.

Seperti biasa, aku mulai mendorong kursi rodanya. “Mau jalan kemana kak ?” tanyaku, tidak seperti biasanya.

“Mau nemenin kamu lihat pelangi, tadi habis hujan kan ?” aku sedikit terkejut. Pertama, darimana kak alvin tahu tadi hujan ? dan kedua, ia masih saja memikirkan kesenanganku di saat-saat seperti ini.

Di taman yang memang selalu kami datangi, aku memberhentikan kursi rodanya. Dan duduk disampingnya, masih seperti biasa. Hanya saja, untuk kali ini, mengingat keadaannya, aku tidak berhenti tepat di tengah-tengah taman, aku memilih untuk duduk di teras rumah sakit. Toh dari sini nanti pelangi itu akan tetap terlihat.

“Via, boleh aku minta sesuatu sama kamu ?”

“Apa kak ?”

“Aku juga mau duduk disitu, tepat disamping kamu, bukan dikursi berbeda kaya gini” aku mengerutkan keningku, tumben ia mempermasalahkan hal sepele ini. Tapi aku tetap menurutinya, dengan hati-hati, aku membantunya untuk berdiri dan duduk di kursi dimana aku duduk tadi. Setelah itu, dengan tangannya, ia membuat aku bersandar di tubuhnya.

Dengan posisi seperti ini, aku bisa merasakan tubuhnya yang mulai menyusut dan meninggalkan tulang-tulang yang menonjol juga cekung matanya yang terlihat dalam. Penyakit ini memang telah membunuhnya pelan-pelan. Untung tidak membunuh semangatnya juga.

“Pelanginya udah muncul..” tunjuknya, meski tanpa begitupun aku bisa melihatnya sendiri.

“Selalu bagus kaya biasanya” timpalku.

“Kenapa kamu suka pelangi ?”

“Bukannya kakak udah pernah nanya itu ?” tanyaku balik.

“Setelah aku pikir-pikir, pelangi itu memang indah kaya yang apa kamu bilang, tapi keindahannya cuma sesaat kan, enggak abadi, enggak sejati”

“Bener sih apa yang kakak bilang, tapi aku bakal tetap suka sama pelangi..”

“Tapi aku enggak mau jadi pelangi buat kamu”

“Kenapa ?”

“Aku enggak mau cuma jadi yang sesaat yang buat kamu. Aku lebih suka menjadi sejuta rinai hujan untuk kamu”

“Sejuta rinai hujan ?”

“Iya, sejuta air hujan yang turun ke bumi. Karena tanpanya, pelangi enggak akan muncul. Aku enggak akan maksa kamu untuk lebih menyukai hujan ketimbang pelangi. Aku hujan dan kamu pelangi. Saat kamu menginginkan keindahan itu, mau enggak mau, kamu harus menginginkan aku, dan itu artinya, akulah orang yang akan selalu mengantarkan kebahagiaan pelangi untuk kamu, dimanapun aku berada..”

Aku tertegun sejenak. Ada yang mengganjal dalam hatiku, meski takut, tapi aku merasa ini layaknya sebuah kalimat perpisahan. Aku tidak membalas kata-katanya, kak alvin juga terdiam. Aku lebih memilih untuk terus menyenderkan kepalaku di badannya.

Kesunyian ini meliputi kami. Untuk kali ini, aku mengacuhkan pelangi. Aku lebih menikmati saat –saat degup jantung kak alvin masih terasa jelas ditelingaku. Entahlah, tapi ada suara, yang menggema dengan sendirinya, layaknya mengantarkan sebuah rahasia kecil, bahwa saat yang paling menyakitkan itu mungkin akan segera datang, dan aku harus memperkokoh ketegaranku sekarang.

“Aku punya satu impian kecil vi..” ujarnya pelan.

“Apa ?”

“Meninggalkan kamu saat seperti ini. Saat kamu bersandar ke aku, saat aku melihat senyum kamu karena pelangi, saat aku yakin kamu telah benar-benar paham, bahwa air mata tidak diciptakan untuk perpisahan yang begitu damai” lagi-lagi aku tidak menjawab.

Aku terus memilih untuk menikmati detik ini. Menikmati menghirup aroma tubuhnya yang khas, menikmati ada di dekapannya yang terasa aman, menikmati pancaran sayangnya tanpa perlu ada kata sayang yang terlontar.

Sekilas aku melirik ke arah pelangi. Dan aku baru sadar, ia sudah hilang. Entah kapan, tapi pelangi telah lenyap. Dan rintik hujan, kembali turun perlahan.

“Kak, kita ke kamr ya ?” tanyaku.

“Sebentar lagi vi, aku mau menikmati bau rumput sehabis hujan” aku menurutinya. Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Dan saat itu datang. Tidak dengan tiba-tiba, tapi cukup teratur. Degup jantung kak alvin mulai terasa satu-satu, begitupun dengan nafasnya. Tapi entahlah, seolah permintaan kak alvin tadi, bagai permintaan terakhirnya yang harus aku turuti.

Dua puluh detik kemudian, semua terasa berhenti. Aku tahu, ia telah pergi. Dan aku tidak bisa menariknya lagi. Tidak bisa lagi menemukannya di lapangan bola, tidak bisa lagi menemukannya di samping rumahku, tidak bisa lagi menemukannya di sekolah. Ia telah benar-benar pergi.

Dan hujan mulai menderas. Tapi tidak air mataku. Aku malah hanya memeluknya erat, karena aku tahu, ini yang terakhir, meski tubuhnya sudah lagi tak berjiwa. Ia telah berubah menjadi hujan, sama seperti apa yang ia bilang tadi, ia adalah sejuta rinai hujan, dan itu artinya ia sedang mengawasiku saat ini, dengan begitu aku tidak boleh menangis, aku tidak mau membuatnya kecewa.

Sebentar lagi, bahkan raganya pun tak dapat aku sentuh seperti ini. jadi tolong ijinkan aku menikmati ini sejenak lagi. Tidak, aku tidak akan menjadi egois, aku telah belajar ikhlas dari jauh-jauh hari. Aku telah melepasnya dengan senyum, dan sekali lagi, aku bangga.

Ternyata hujan kali ini tidak begitu lama. Mungkin ia belum terbiasa jadi hujan, tenang saja, aku maklum. Aku juga mengerti, bila kali ini ia belum bisa membawakan pelangi. Tapi aku akan tunggu itu, di waktu hujan yang lain.

“Kak, bau rumputnya udah kecium kan ? sekarang kita kembali ke kamar ya” bisikku tepat di telinganya.

TAMAT

 Oke,ini sebenernya bukan cerpen hasil pikiran gue melainkan dari orang lain. Cerpen ini bagus saking bagusnya gak bosen setiap baca ini cerpen berulang kali.

From : http://jejak-jejakpena.blogspot.com